Pematang Siantar BoaBoaNews
KAJIAN LEGALITAS PEMAKZULAN WALIKOTA SIANTAR dr SUSANTI OLEH DPRD
Beberapa waktu lalu, lebih tepatnya pada Senin (20/3) 27 dari 30 anggota DPRD Kota Pematangsiantar menyatakan sepakat untuk mengusulkan pemberhentian (pemakzulan) Wali Kota Pematangsiantar.
Pertanyaannya adalah, apakah DPRD Pematangsiantar sudah berada pada koridor yang tepat terkait pemakzulan ini?
Terlepas dari banyaknya kontroversi terkait hal tersebut, berikut akan coba diuraikan terkait mekanisme pemakzulan (impeachment) terhadap Kepala Daerah.
Adapun landasan yuridis pemberhentian kepala daerah melalui mekanisme pemakzulan (impeachment) tertuang dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Sebagaimana pasal 78 ayat (1) disebutkan tentang tiga hal yang dapat mendasari pemberhentian kepala daerah, yang pertama tentu saja karena meninggal dunia; kemudian atas permintaan sendiri; dan yang terakhir adalah karena diberhentikan.
Dalam hal kepala daerah tidak melanggar suatu ketentuan pidana atau dengan kata lain tidak melakukan tindak pidana sama sekali, namun terindikasi dan kemudian terbukti melanggar larangan sebagaimana tertuang dalam pasal 76 ayat (1) kecuali huruf c, i, dan j, maka kepala daerah dimaksud dapat diberhentikan.
Adapun bunyi dari Pasal 76 ayat (1) dimaksud adalah sebagai berikut :
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun;
d. menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan Daerah yang dipimpin;
e. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;
f. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e;
g. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
h. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri; dan
j. meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) Hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan tanpa izin Menteri untuk gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.
Sejauh hal-hal dalam pasal tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, terlebih terkait penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, kroni, golongan, maupun kelompok politiknya, maka DPRD dapat melakukan impeachment terhadap kepala daerah.
Untuk selanjutnya, mekanisme terkait pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana pasal 80 ayat (1),
Halmana kepala daerah (Walikota dan/atau Wakil Walikota) diusulkan pemberhentiannya kepada Menteri berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD yang menyatakan bahwa Kepala Daerah dimaksud melanggar sumpah janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan bagi kepala daerah, maupun melakukan perbuatan tercela.
Kemudian pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
Mahkamah Agung akan memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung yang putusannya bersifat final.
Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati atau wakil bupati/wali kota atau wakil wali kota.
Adapun proses impeachment kepala daerah dibuat sedemikian rupa, bukan tanpa sebab dan alasan yang jelas. Hal yang melatarbelakanginya tidak lebih adalah karena era reformasi telah memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada Daerah untuk mengelola wilayahnya secara mandiri (Otonomi Daerah) yang mempunyai implikasi bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga hal ini berdampak terhadap pertanggungjawaban sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang hanya bersifat administrasif. Sedangkan sebagai kepala pemerintahan ditingkat daerah, secara langsung bertanggungjawab kepada rakyat, Bukan kepada lembaga Legislatif ataupun Pemerintah Pusat. Sebab mandat yang diperoleh memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.
Walaupun sedikit sulit dan rumit, namun pada dasarnya tujuan dituangkannya proses pemakzulan kedalam peraturan perundang-undangan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membatasi kekuasaan (disegala tingkatan) agar tidak sewenang-wenang dan curang.
Sehingga dengan bukti dan argumentasi-argumentasi yang kuat, langkah yang dilakukan oleh DPRD Pematangsiantar terkait pemakzulan Walikota Pematangsiantar dapat diterima berdasarkan logika hukum, terlebih secara poltik.
Mengutip pernyataan seorang Sejarawan, Politisi sekaligus Penulis Inggris yang terkenal , Lord Acton dengan adagiumnya : “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup/curang. Kekuasaan yang absolut sudah pasti korup/curang).
Harapannya, apapun hasil akhirnya, dalam setiap pemakzulan yang terjadi dapat membawa tujuan dan perubahan pada kekuasaan pemerintahan yang lebih baik. Semoga..!(team Lawyer BoaBoaNews)