Pematangsiantar, Boa Boa News
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (Wamen HAM) Mugiyanto Sipin mengungkapkan, Hak Asasi Manusia harus menjadi pondasi pembangunan.
Hal itu disampaikan Wamen HAM saat memberi Kuliah Umum di Auditorium Radjamin Poerba Kampus Universitas Simalungun (USI), Jalan Sisingamangaraja Kota Pematangsiantar, dihadiri Wakil Wali Kota Herlina, Jumat (16/5-2025) siang. Kuliah umum tersebut dirangkai peresmian Pusat Studi HAM USI.


Rektor USI Dr Sarintan Efratani Damanik dalam kuliah umum dengan tema ‘Membangun Sinergitas Dunia Kampus dalam Penegakan HAM’, menegaskan USI siap menjadi laboratorium bagi pengembangan ekonomi rakyat sekaligus pusat kajian HAM.
“USI siap mengambil peran strategis dalam proses hilirisasi dan modernisasi ekonomi nasional. Kami ingin menjadikan kampus ini sebagai laboratorium ekonomi sekaligus laboratorium HAM yang dapat mendorong pembangunan berkelanjutan,” sebut Sarintan.
Ia berharap Kuliah umum tersebut dapat memberikan wawasan baru bagi mahasiswa tentang pentingnya pemahaman hukum dan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Wamen HAM Mugiyanto menjelaskan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029 telah menetapkan hilirisasi dan modernisasi sebagai dua pilar utama pembangunan nasional. Dalam konteks ini, perguruan tinggi diharapkan tidak hanya berperan sebagai lembaga akademik, tetapi juga sebagai mitra pemerintah dalam pemajuan HAM.
“Hak asasi manusia harus menjadi pondasi pembangunan. Karena itu, kami ingin memastikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan harus setara, serta seluruh perusahaan negara dan swasta menghormati prinsip-prinsip HAM,” ujarnya.
Lebih jauh, Mugiyanto mendorong perguruan tinggi lain di Kota Pematangsiantar dan sekitarnya untuk mengikuti jejak USI dengan membentuk Pusat Studi HAM masing-masing.
Dalam kesempatan tersebut, Mugiyanto menjabarkan empat peran strategis dunia kampus dalam penguatan HAM. Keempatnya yakni: pendidikan dan integrasi HAM dalam kurikulum; riset kolaboratif; advokasi masyarakat; serta membangun budaya kritis terhadap kekuasaan. (gar)