BOABOANEWS.COM– Di balik rencana pernikahan yang seharusnya penuh cinta dan harapan, tersimpan tragedi kelam yang mencabik nurani. Seorang calon pengantin, Sodikin (23), memilih jalan paling gelap: menghabisi nyawa sahabatnya sendiri demi beberapa lembar uang untuk biaya pernikahan. Yang lebih mencengangkan, pembunuhan itu terjadi di sebuah makam keramat, seolah mengukir kutukan dalam tiap tetes darah yang mengalir.
Di ruang penyidik Polres Jombang, tampak seorang pria muda bersimpuh lemah dengan betis kiri diperban. Bukan karena kecelakaan. Ia baru saja ditembak polisi saat mencoba melarikan diri. Pria itu adalah Sodikin – calon pengantin yang seharusnya duduk di pelaminan, namun kini harus menatap dinginnya jeruji besi.
Hanya beberapa jam sebelum tragedi berdarah itu, Sodikin masih menyimpan harapan menikahi gadis pujaan hatinya di Kantor Urusan Agama (KUA) Sumobito. Tapi kenyataan kejam menghantamnya—ia tak punya uang. Tak ada mahar. Tak ada biaya resepsi. Di tengah keputusasaan, sebuah nama muncul di benaknya: Junaidi, sahabatnya sendiri. Dan dari sanalah awal kisah mengerikan ini bermula.
Dari Sahabat Jadi Korban
Pagi itu, Minggu, 19 Agustus 2019, Sodikin menyusun rencana gila. Ia mendatangi rumah Junaidi (19) dengan wajah biasa-biasa saja. Tidak ada tanda-tanda kebencian. Tidak ada gelagat mencurigakan. Junaidi, yang polos dan percaya, menyambut kedatangannya tanpa curiga. Ia tidak tahu bahwa maut sedang menjemputnya lewat tangan orang yang selama ini ia anggap teman.
Dengan dalih ingin jalan-jalan, Sodikin mengajak Junaidi pergi. Keduanya berboncengan menuju rumah paman Sodikin. Di sana, dengan dingin dan tenang, Sodikin menyelipkan pisau dapur ke balik bajunya. Senjata pembunuh yang kelak merenggut nyawa sahabatnya sendiri.
Tujuan mereka: Makam keramat Mbah Sentono, tempat yang biasa digunakan warga untuk berziarah dan mencari berkah. Tapi hari itu, makam sakral itu justru jadi saksi bisu pembantaian mengerikan.
Tikaman, Jeritan, dan Darah yang Mengalir
Setibanya di makam sekitar pukul 10 pagi, mereka duduk bersisian di punden. Obrolan ringan berlangsung seperti tak ada yang salah. Junaidi, santai dan terbuka, tak tahu bahwa sahabatnya tengah menunggu momen untuk menyerang.
Sodikin melepaskan kaus, berpura-pura kepanasan, sambil memainkan ponsel. Dan dalam hitungan detik—tanpa peringatan—pisau di tangannya menghujam perut Junaidi. Sekali. Dua kali. Lalu menusuk dada dan punggung. Junaidi, terkejut dan kesakitan, mencoba kabur.
Namun usahanya sia-sia.
Sodikin menarik kakinya, menjatuhkannya ke tanah. Dengan wajah dingin dan emosi menggelegak, ia menikam tubuh sahabatnya bertubi-tubi hingga pisaunya bengkok karena terlalu dalam menembus daging dan tulang. Tubuh Junaidi tergeletak tak bernyawa. Dada telanjang dan penuh luka tusukan. Darah membasahi tanah suci makam.
Tanpa rasa bersalah, Sodikin mengambil ponsel milik korban dan melarikan diri menggunakan motor Junaidi.
“Demi Cinta”, Tapi Harus Membunuh?
Motif pembunuhan ini membuat siapa pun menggelengkan kepala. Uang hasil penjualan motor dan ponsel Junaidi—sekitar Rp 2 juta—digunakan Sodikin untuk membiayai pernikahannya. Pernikahan yang sejatinya akan dimulai keesokan hari. Tapi alih-alih melangkah ke pelaminan, ia justru masuk daftar buronan.
Jenazah Junaidi ditemukan warga sekitar pukul 14.00 WIB, di lokasi keramat, dalam kondisi mengenaskan. Polisi yang menyelidiki langsung mengidentifikasi sidik jarinya dengan teknologi MAMBIS, dan nama Sodikin pun muncul sebagai orang terakhir yang terlihat bersamanya.
Tertangkap, Ditembak, Diadili
Pengejaran tak butuh waktu lama. Di hari yang sama, sekitar pukul 7 malam, polisi menemukan Sodikin di kawasan Mojoagung. Ia mencoba kabur lagi. Kali ini peluru polisi menghentikannya. Sebuah tembakan menghantam betisnya.
Dengan tubuh tertembak dan wajah memucat, Sodikin dibawa ke kantor polisi.
“Tersangka kami tangkap usai menjual barang milik korban,” ujar AKP Gatot Setyo Budi, Kasat Reskrim Polres Jombang kala itu.
Kasus ini bergulir cepat. Sodikin dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Sidangnya digelar pada 4 Desember 2018—dua bulan setelah insiden berdarah itu. Pada 29 Januari 2019, vonis dijatuhkan: 15 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 20 tahun.
Tragedi di Balik Gaun Pengantin
Kisah ini lebih dari sekadar kasus kriminal. Tapi juga drama pilu tentang pengkhianatan, tekanan ekonomi, dan cinta yang dibutakan oleh obsesi. Sodikin memilih jalan tercepat demi cinta, tapi lupa bahwa cinta sejati tak dibangun di atas darah.
Warga Jombang masih mengenang kejadian ini. Di makam Mbah Sentono, bisik-bisik warga masih terdengar setiap kali ada yang ziarah: “Itulah tempat Junaidi dibunuh temannya sendiri.”
Karena di sana, cinta, kemiskinan, dan kematian bersatu dalam satu tikaman. (*)