Pematangsiantar, Boa Boa News
Proses penegakan hukum di Mapolsek Siantar Martoba Kota Pematangsiantar, kembali tercoreng. AS (57 tahun), Warga Jalan Kaveleri Belakang, Kelurahan Bukit Sofa, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematangsiantar, menjadi korban hingga mendekam di balik jeruji besi.
Korban akibat proses penyelidikan dan penyidikan yang diduga cacat hukum, dilakukan Kapolsek Siantar Martoba, Restuadi, S.H selaku Penyidik. AS di laporkan pihak pelapor ke Polsek Siantar Martoba pada tanggal 28 Juni 2025 atas dugaan pencurian pasal 363 subs 367.
Hal itu dikatakan Hernanzes Butar-Butar SH dan Erwin Nainggolan.SH.M.Kn, sebagai Penasehat Hukum korban, ketika bincang – bincang dengan Boa Boa News di Cofee Bina Kota Siantar, Sumut, Selasa, 30/07/2025.
Lebih lanjut dikatakan, mirisnya, proses hukum berjalan, tetapi tidak mengindahkan aturan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 6 Tahun 2019.
Tanpa melalui tahapan pemeriksaan sebagai saksi sesuai diamanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014. AS langsung ditangkap tanpa diberikan surat penetapan tersangka, surat perintah penangkapan, maupun surat perintah penahanan.
Lebih parah lagi, AS sama sekali tidak pernah diundang datang ke Polsek Siantar Martoba untuk dimintai keterangan atau wawancara, baik sebagai saksi maupun calon tersangka.
Prosedur hukum merupakan pedoman kerja aparat penegak hukum sepertinya diabaikan begitu saja. Pada saat penangkapan, AS ditemui disalah satu warung kopi dekat kediamannya. Kemudian dibawa kerumahnya dengan tangan diikat layaknya buronan kelas kakap. Setelah itu, AS dibawa ke Polsek Siantar Martoba untuk dilakukan penahanan, bahkan AS sempat ditahan di Polsek Siantar Martoba.
Berselang beberapa hari, AS dipindahkan ke Mapolres Pematangsiantar. Alih – alih memperbaiki prosedur, di Mapolres Pematangsiantar AS justru mengalami intimidasi. Penyidik memaksa AS membuka PIN Handphone miliknya, pada hal sama sekali tidak berkaitan dengan pokok perkara yang dilaporkan.
“Tindakan pemaksaan ini jelas melanggar prinsip Due Process Of Law dan hak atas privasi yang dilindungi Undang-Undang,” ungkap Hernanzes Butar – Butar.
Hernanzes menambahkan, ironisnya, AS baru diperiksa setelah ditangkap, jelas bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana di Indonesia. Hingga saat ini, tidak ada dua alat bukti sah dan cukup yang menjadi dasar hukum untuk melakukan penangkapan maupun penahanan terhadap AS.
Proses hukum yang dijalankan penyidik Polsek Siantar Martoba ini sangat cacat secara prosedural sehingga mencerminkan adanya arogansi dan kesewenang – wenangan aparat penegak hukum.
Sementara itu, Erwin Nainggolan, S.H., M.Kn yang juga penasihat hukum AS, menyatakan keberatan keras atas tindakan semena-mena penyidik Polsek Siantar Martoba AKP Restuadi bergelar (SH) Sarjana Hukum selaku Kapolsek Siantar Martoba yang tidak mengerti prosedur HUKUM.
Mereka menilai bahwa penyidik tidak memahami hukum dengan baik. Tindakan penangkapan dan penahanan terhadap klien mereka merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
“Ini adalah bentuk nyata dari penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Bagaimana mungkin seseorang ditangkap, ditahan, bahkan dipindahkan ke Polres tanpa adanya surat penetapan tersangka, surat perintah penangkapan dan penahanan? Lebih parahnya lagi, AS diperiksa setelah ditahan, ini tindakan sewenang – wenang yang menciderai marwah institusi Polri sendiri,” tegas Erwin.
Kasus AS menambah panjang daftar malpraktik proses penyidikan yang terjadi di tingkat Polsek, akibat rendahnya kompetensi penyidik dalam memahami hukum acara pidana. Polri saat ini dinilai sangat membutuhkan reformasi SDM penyidik dengan berbasis S1 Hukum sebagai langkah strategis untuk memperbaiki wajah penegakan hukum di Indonesia.
“Kalau penyidik Polri bukan dari latar belakang S1 Hukum, bagaimana mereka bisa memahami teknis dan prinsip hukum acara pidana? Itu akar masalahnya. Proses penyidikan adalah ujung tombak tegaknya hukum, sehingga penyidik yang tidak menguasai hukum pasti akan merugikan masyarakat,” ujar Hernanzes.
Reformasi ini penting untuk menjamin bahwa setiap tindakan penyidikan, mulai dari pemanggilan, penetapan tersangka, penangkapan, hingga penahanan, dilakukan berdasarkan hukum dan melindungi hak asasi warga negara.
(PS 01)
Penulis : PS 01